Rabu, 27 Juli 2011

MAKALAH PANGAN DAN KESEHATAN PENGAWETAN BAHAN PANGAN NABATI DALAM KEMASAN KALENG

PENDAHULUAN

A.                LATAR BELAKANG
Pengawetan makanan/minuman dapat dilakukan dengan berbagai macam cara : pendinginan/pembekuan, pengeringan, pengasapan, penggaraman, pemanasan (pasteurisasi, sterilisasi) dan penambahan bahan pengawet kimia. Semua cara tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menhancurkan atau mengahmbat pertumbuhan mikroba pembusuk. Dalam hal makanan kaleng atau minuman dalam karton, maka cara pengawetan yang dilakukan adalah dengan proses pemanasan (sterilisasi).
Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat dan disterilkan dengan panas. Cara pengawetan ini merupakan yang paling umum dilakukan karena bebas dari kebusukan, serta dapat mempertahankan nilai gizi, cita rasa dan daya tarik. Proses pemanasan kaleng yang dianggap aman adalah yang dapat menjamin bahan makanan tersebut telah bebas dari karena bakteri tersebut menghasilkan toksin yang mematikan dan paling tahan terhadap pemanasan.
B.                 RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana cara pengawetan bahan pangan nabati dalam  kemasan kaleng?
2.      Faktor apa saja yang mempengaruhi nilai gizi pada bahan pangan nabati hasil pengolahan panas dalam proses pengalengan?

C.              TUJUAN
1.      Mendiskripsikan langkah-langkah pengawetan bahan pangan nabati dalam proses pengalengan.
2.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai gizi pada bahan pangan nabati hasil pengolahan panas dalam proses pengalengan.





PEMBAHASAN

A.    TINJAUAN PUSTAKA

Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dari kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa.
Definisi lain dari pengalengan yaitu metode pengawetan makanan dengan memanaskannya dalam suhu yang akan membunuh mikroorganisme, dan kemudian menutupinya dalam stoples maupun kaleng. Karena adanya bahaya botulinin ( penyakit yang disebabkan oleh bakteri Clostridium botulinum), satu-satunya metode yang aman untuk mengalengkan sebagian besar makanan adalah dalam panas dan tekanan tinggi. Makanan yang harus dikalengkan termasuk produk sayur-mayur, daging, makanan laut, susu, dan lain-lain. Satu-satunya makanan yang mungkin bisa dikalengkan dalam wadah air masak (tanpa tekanan tinggi) adalah makanan asam seperti buah, sayur asin, atau makanan lain yang ditambahi asam.
Metoda pengalengan secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metoda pengalengan konvensional dan metoda aseptik. Pada metoda pengalengan konvensional bahan pangan berupa padatan atau caiaran yang telah disiapkan dalam kaleng atau botol ditutup rapat dan disterilisasi dalam autoklaf. Sedangkan pada metoda pengalengan aseptik bahan pangan dan kemasan dikerjakan secara terpisah. Bahan pangan diperlakukan sesuai dengan proses termalnya, sedangkan kemasan dilakukan sterilisasi terlebih dahulu.
Umumnya makanan kaleng disterilkan dengan cara konvensional sebagai berikut : bahan pangan yang telah bersih dimasukkan ke dalam kaleng, kemudian ditambahkan medium cair (sirup, larutan garam, kaldu atau saus); setelah dipanaskan sebentar kemudian kalengnya ditutup rapat. Selanjutnya dipanaskan pada suhu tinggi di dalam autoklaf atau retort selama waktu tertentu, lalu segera didinginkan dalam air dingin, dikeringkan, dan akhirnya diberi label. Dalam industri pengalengan makanan, yang diterapkan adalah sterilisasi komersial (commercial sterility). Artinya, walaupun produk tersebut tidak 100 persen steril, tetapi cukup bebas dari bakteri pembusuk dan patogen (penyebab penyakit), sehingga tahan untuk disimpan selama satu tahun atau lebih dalam keadaan yang masih layak untuk dikonsumsi. Keuntungan utama penggunaan kaleng sebagai wadah bahan pangan adalah:
·         Kaleng dapat menjaga bahan pangan yang ada di dalamnya.
Makanan yang ada di dalam wadah yang tertutup secara hermetis dapat dijaga terhadap kontaminasi oleh mikroba, serangga, atau bahan asing lain yang mungkin dapat menyebabkan kebusukan atau penyimpangan penampakan dan cita rasanya.
·         Kaleng dapat juga menjaga bahan pangan terhadap perubahan kadar air yang tidak diinginkan.
·         Kaleng dapat menjaga bahan pangan terhadap penyerapan oksigen, gas-gas lain, bau-bauan, dan partikel-partikel radioaktif yang terdapat di atmosfer.
·         Untuk bahan pangan berwarna yang peka terhadap reaksi fotokimia, kaleng dapat menjaga terhadap cahaya
Dalam proses, biasanya dilakukan penambahan medium pengalengan. Di Indonesia, dikenal tiga macam medium pengalengan, yaitu larutan garam (brine), minyak atau minyak yang ditambah dengan cabai dan bumbu lainnya, serta saus tomat. Penambahan medium bertujuan untuk memberikan penampilan dan rasa yang spesifik pada produk akhir, sebagai media pengantar panas sehingga memperpendek waktu proses, mendapatkan derajat keasaman yang lebih tinggi, dan mengurangi terjadinya karat pada bagian dalam kaleng. Berdasarkan tujuannya ada 4 macam penggunaan panas dalam pengolahan makanan, yaitu: pemasakan, blanzir, pasteurisasi, dan sterilisasi. Adapun penyebaran panas di sini ada 3 cara, yaitu melalui konveksi, konduksi dan radiasi. Pemasakan secara konveksi dalam makanan kaleng kemungkinan yang lebih besar untuk mencapai kondisi proses yang lebih baik daripada perpindahan panas secara konduksi yang lambat dan memerlukan waktu yang lebih lama.
Proses pemanasan pada bahan pangan bertujuan untuk mematikan bakteri dengan mempertahankan nilai nutrisi dan mutu dari bahan pangan. Untuk tujuan ini dikenal optimasi proses termal. Aplikasi pengalengan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengalengan pangan merupakan salah satu bentuk usaha pengawetan pangan yang menggunakan proses panas untuk mereduksi atau menghilangkan mikroorganisme perusak, pembentuk toksin dan patogen pada makanan yang dilakukan di dalam kemasan yang hermetis. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan dari pengalengan yaitu bahan pangan yang awet, aman dan memiliki nilai organoleptik yang baik, diperlukan suatu pengetahuan dan keahlian di bidang pengemasan, peralatan pemanasan, proses termal, bakteriologi, keamanan dan gizi pangan, organoleptik dan pengolahan pangan yang mendalam. Tahapan tahapan secara umum dalam proses pengalengan buah buahan atau sayuran dapat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu:
·         Tahapan penerimaan dan penanganan bahan baku.
·         Tahapan penyiapan bahan baku.
·         Tahapan proses pengolahan atau pengalengan (proses thermal).
·         Tahapan pengemasan dan penyimpanan produk akhir.

PROSES PENGALENGAN BAHAN PANGAN NABATI

Pada dasarnya, proses pengalengan bahan pangan nabati meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut; sortasi, pencucian, pengupasan, pemotongan, blanching, pengisian, exhausting, penutupan, processing (sterilisasi), pendinginan dan penyimpanan.


·         Proses sortasi dan pencucian
Dalam tahap proses sortasi dilakukan pemilihan buah yang akan dikaleng-kan yang bermutu baik, tidak busuk, cukup tua akan tetapi tidak terlalu matang. Buah yang kelewat matang tidak cocok untuk dikalengkan karena tekstur buah-nya akan semakin lunak, sehingga menyebabkan tekstur yang hancur setelah pemanasan dalam autoklaf. Setelah bahan disortasi, bahan kemudian dicuci atau dibersihkan dengan menggunakan air bersih. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada bahan sehingga diharapkan akan menurunkan populasi mikroba, menghilangkan sisa-sisa insektisida, mengurangi atau menghilangkan bahan-bahan sejenis malam yang melapisi kulit buah-buahan.
·         Proses pengupasan kulit, pembuangan biji dan pemotongan
Bagian yang akan dikalengkan adalah bagian buah yang lazim dimakan/ dikonsumsi, yang biasanya berupa daging buah. Oleh karena itu, bagian-bagian yang tidak berguna, seperti kulit, biji, bongkol, dsb dilakukan pembuangan. Bagian daging buah yang akan dimakan kemudian dilakukan proses pemotongan, sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan ukuran kaleng. Pemotongan atau pengecilan ukuran dilakukan dengan untuk mempermudah pengisian bahan ke dalam kaleng dan menyeragamkan ukuran bahan yang akan dimasukan. Selain itu, pengecilan ukuran juga bertujuan untuk mempermudah penetrasi panas. Jika pemotongan dilakukan dengan sembarangan, maka akan mengakibatkan diskolorisasi, yaitu timbulnya warna yang gelap atau hilangnya warna asli maupun pemucatan warna.
·         Proses blansir
Pemblansiran merupakan cara lain yang dapat digunakan untuk membunuh mikroba patogen. Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93 derajat Celsius. Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit tergantung dari macam bahan, ukuran, dan derajat kematangan. Blansir merupakan pemanasan pendahuluan bahan pangan yang biasanya dilakukan untuk makanan sebelum dikalengkan, dibekukan, atau dikeringkan. Proses blansir ini berguna untuk ;
a.       membersihkan jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal
b.      meningkatkan suhu produksi produk atau jaringan
c.       membuang udara yang masih ada di dalam jaringan
d.      menginaktivasi enzim
e.       menghilangkan rasa mentah
f.       mempermudah proses pemotongan (cutting, slicing, dan lain-lain)
g.      mempermudah pengupasan
h.      memberikan warna yang dikehendaki
i.        mempermudah pengaturan produk dalam kaleng.
Enzim dan mikroorganisme sering menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki pada bahan pangan, seperti pencokelatan enzimatis, perubahan flavor, dan terjadinya pembusukan. Blansir akan menginaktifkan enzim, baik oksidasi maupun hidrolisis, serta menurunkan jumlah mikroba pada bahan. Di dalam proses blanching buah dan sayuran, terdapat dua jenis enzim yang tahan panas yaitu enzim katalase dan peroksidase, kedua enzim ini memerlukan pemanasan yang lebih tinggi untuk menginaktifkannya dibandingkan enzim-enzim lain. Apabila tidak ada lagi aktivitas enzim katalase atau peroksidase pada buah dan sayuran yang telah diblansir, maka enzim-enzim lain yang tidak diinginkan pun telah terinaktivasi dengan baik. Lamanya proses blansir dipengaruhi beberapa faktor, seperti ukuran bahan, suhu, serta medium blansir.
Pencegahan kontaminasi mikroba juga dapat dilakukan dengan penyimpanan bahan pangan dengan baik. Bahan baku segar seperti sayuran, daging, susu sebaiknya disimpan dalam lemari pendingin. Proses pemasakan juga dapat membunuh mikroba yang bersifat patogen.
Proses blansir dapat dilakukan dengan cara mencelup potongan-potongan buah dalam air mendidih selama 5–10 menit. Lama pencelupan tergantung jenis dan banyak sedikitnya buah yang akan diolah. Secara umum, proses blansir perlu memperhatikan hal-hal berikut :
a.       Proses blansir harus dilakukan sesuai dengan suhu dan waktu blansir yang telah ditetapkan
b.      Air yang digunakan untuk proses blansir harus diganti secara rutin
c.       Suhu akhir produk setelah blansir harus sudah mencapai suhu yang telah ditetapkan; dan
d.      Produk yang telah diblansir tidak boleh dibiarkan melebihi waktu maksimum yang diijinkan.
·         Proses pengisian
a.       Pembuatan medium
Medium yang dipergunakan untuk pengalengan ini ada 2 macam, yaitu medium larutan gula yang dipergunakan untuk pengalengan buah dan cincau. Medium yang dipergunakan untuk untuk sop sayur adalah kuah sop yang telah dimasak dengan rempah-rempah.
Medium digunakan dapat berupa sirop, larutan garam, kaldu atau saus tergantung produk yang akan dikalengkan. Penambahan medium ini dilakukan untuk mempercepat penetrasi panas dan mengurangi terjadinya korosi kaleng dengan berkurangnya akumulasi udara.
b.      Proses memasukkan potongan buah ke dalam kaleng
Potongan buah yang telah diblansir kemudian dimasukkan ke dalam kaleng. Penyusunan buah dalam wadah diatur serapi mungkin dan tidak terlalu penuh. Pada saat pengisian perlu disisakan suatu ruangan yang disebut dengan head space.
c.       Proses pengisian medium
Kemudian dituangkan larutan sirup, larutan garam, kaldu atau saus. Sama halnya dengan pada saat pengisian buah, pengisian sirop juga tidak dilakukan sampai penuh, melainkan hanya diisikan hingga setinggi sekitar 1-2 cm dari permukaan kaleng. Perlu diusahakan bahwa pada saat pengisian larutan tersebut, semua buah dalam kondisi terendam.
·         Proses exhausting
Kaleng yang telah diisi dengan buah (dan sirop) kemudian dilakukan proses exhausting. Tujuan exhausting adalah untuk menghilangkan sebagian besar udara dan gas-gas lain dari dalam kaleng sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Exhausting penting dilakukan untuk memberikan kondisi vakum pada kaleng setelah penutupan, sehingga
(i) mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran kaleng karena tekanan dalam kaleng yang terlalu tinggi (terutama pada saat pemanasan dalam retort), sebagai akibat pengembangan produk, dan
(ii) mengurangi kemungkinan terjadinya proses pengkaratan kaleng dan reaksi-reaksi oksidasi lainnya yang akan menurunkan mutu.
Tingkat kevakuman kaleng setelah ditutup juga dipengaruhi oleh perlakuan blansir, karena blansir membantu mengeluarkan udara/gas dari dalam jaringan. Exhausting dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan cara:
(i) melakukan pengisian produk ke dalam kaleng pada saat produk masih dalam kondisi panas,
(ii) memanaskan kaleng beserta isinya dengan tutup kaleng masih terbuka, atau
(iii) secara mekanik dilakukan penyedotan udara dengan sistem vakum.
Suhu dalam ruang exhausting adalah 80 – 90oC dan proses berlangsung selama 8-10 menit. Suhu produk ketika keluar dari exhauster adalah sekitar 60 - 70°C. Pada setiap selang waktu tertentu dilakukan pengecekan suhu produk yang keluar dari exhauster, apakah suhu produk yang diinginkan tercapai atau tidak.
·         Proses penutupan kaleng
Setelah proses exhausting kaleng segera ditutup dengan rapat dan her-metis pada suhu yang relatif masih tinggi. Semakin tinggi suhu penutupan kaleng, maka semakin tinggi pula tingkat kevakumannya (semakin rendah tekanannya). Proses penutupan kaleng juga merupakan hal yang sangat penting karena daya awet produk dalam kaleng sangat tergantung pada kemampuan kaleng (terutama bagian-bagian sambungan dan penutupan) untuk mengisolasikan produk di dalamnya dengan udara luar. Penutupan yang baik akan mencegah terjadinya kebocoran yang dapat mengakibatkan kebusukan. Penutupan kaleng yang dilakukan sedemikian rupa, diharapkan baik udara, air maupun mikroba dari luar tidak dapat masuk (menembus) ke dalam, sehingga keawetannya dapat dipertahankan.
·         Proses sterilisasi
Setelah proses penutupan kaleng selesai, maka kaleng dimasukkan ke dalam keranjang yang dipersiapkan untuk proses sterilisasi. Proses sterilisasi dilakukan dalam autoclave, untuk koktail buah dan cincau digunakan suhu 100°C dengan tekanan 0,8 bar selama 30 menit sedangkan untuk sayuran digunakan suhu 115-121°C dengan tekanan 1,05 bar selama 45-60 menit.
Sterilisasi merupakan proses untuk mematikan mikroba. Pada perinsipnya ada dua jenis sterilisasi yaitu sterilisasi total dan sterilisasi komersial. Sterilisasi komersial yang ditetapkan di industri pangan merupakan proses thermal. Karena digunakan uap air panas atau air digunakan sebagai media pengantar panas, sterilisasi ini termasuk kedalam sterilisasi basah.sterilisasi komersial harus disertai dengan kondisi tertentu yang mungkin mikroba masih hidup dan dapat berkembang didalamnya.
Sterilisasi total adalah sterilisasi yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme sehingga mikroba tidak lagi dapat berkembangbiak didalam suatu wadah/bahan pangan. Pada sterilisasi total ini jika dilaksanakan maka tidak akan terdapat lagi mikroba-mikroba yang berbahaya terutama pada Clostidium botilinum (Winarno, 1994). Selain bertujuan untuk mematikan semua mikroba penyebab kerusakan, proses sterilisasi ini juga bertujuan untuk memasakkan bahan sehingga bahan mempunyai tekstur, rasa dan kenampakan yang diinginkan. Bahan dengan keasaman tinggi (acid food) tidak memerlukan suhu sterilisasi yang terlalu tinggi, untuk itulah pada pengalengan koktail buah dan cincau suhu sterilisasi yang dipergunakan adalah 100oC dengan tekanan 0,8 bar, pada kondisi asam tersebut, mikroorganisme pembusuk dapat dimatikan. Berbeda halnya dengan sayuran yang mempunyai pH > 4,5 atau bahan makanan dengan keasaman rendah (low acid food) yang dimana sterilisasi pada suhu 100°C tidak akan efektif mematikan semua mikroba. Oleh karena itu digunakan suhu 121°C dengan tekanan 1,05 bar. Pada suhu dan tekanan tersebut maka semua mikroorganisme patogen dan pembusuk akan mati. Kondisi proses sterilisasi sangat tergantung pada berbagai faktor, antara lain :
a.       kondisi produk pangan yang disterilisasikan (nilai pH, jumlah mikroorganisme awal, dan lain-lain)
b.      jenis dan ketahanan panas mikroorganisme yang ada dalam bahan pangan.
c.       karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah (kaleng).
d.      Medium pemanas.
e.       Kondisi penyimpanan setelah sterilisasi
·         Proses pendinginan
Setelah proses sterilisasi, kaleng kemudian didinginkan dengan air dingin. Pendinginan pasca sterilisasi menjadi penting karena timbul perbedaan tekanan yang cukup besar yang dapat menyebabkan rekontaminasi dari air pendingin ke dalam produk. Untuk itu perlu dipastikan bahwa air pendingin yang digunakan memenuhi persyaratan mikrobiologis. Untuk industri besar, proses pendinginan biasanya dilakukan secara otomatis di dalam retort, yaitu sesaat setelah katup uap dimatikan maka segera dibuka katup air dingin. Untuk ukuran kaleng yang besar, maka tekanan udara dalam retort perlu dikendalikan sehingga tidak menyebabkan terjadinya kaleng-kaleng yang menggelembung dan rusak. Pendinginan dilakukan secepatnya setelah proses sterilisasi selesai untuk mencegah pertumbuhan kembali bakteri, terutama bakteri termofilik. Pendinginan dimulai dengan membuka saluran air pendingin dan menutup keran - keran lainnya.
Air pendingin dapat dialirkan melalui dua saluran, yaitu bagian bawah dan bagian atas retort. Pemasukan air mula-mula dilakukan secara perlahanlahan agar tidak terjadi peningkatan tekanan secara drastis. Peningkatan tekanan secara drastis tersebut harus dicegah karena dapat menyebabkan kaleng menjadi penyok atau rusak pada bagian pinggirnya disebabkan kaleng tidak mampu menahan kenaikan tekanan tersebut. Air dialirkan dari bagian bawah dahulu agar secara bertahap dapat meng-kondensasikan sisa uap yang ada dan baru bagian atas dibuka. Pada saat retort telah penuh dengan air, aliran dapat lebih deras dialirkan. Selama proses pendinginan berlangsung, perlu dilakukan pengontrolan tekanan secara terus menerus untuk mencegah terjadinya koleps pada kaleng, yaitu terjadinya penyok pada kaleng disebabkan tekanan yang terlalu tinggi. Proses pendinginan dinyatakan selesai bila suhu air dalam retort telah men-capai 38-42°C. Aliran air pendingin kemudian dihentikan dan air dikeluarkan. Tutup retort dibuka dan keranjang diangkat dari retort.
·         Pengeringan
Setelah kaleng dikeluarkan dari retort, maka kaleng dikeringkan dan dibersihkan, untuk mencegah korosi atau pengkaratan pada sambungan kaleng. Pengeringan dan pembersihan kaleng ini perlu dilakukan untuk mencegah rekontaminasi (debu atau mikroba) yang lebih mudah menempel pada kaleng yang basah.


·         Penyimpanan
Setelah itu disimpan dalam suhu ruang untuk mengetahui daya simpan dan efektifitas sterilisasi. Pengamatan dilakukan selama 1 minggu dan kaleng disimpan pada suhu 40-50oC. Jika dalam 1 minggu tersebut ada kaleng yang menggembung, maka proses sterilisasi tidak berjalan dengan baik dan hal ini ditandai dengan masih adanya aktivitas mikroorganisme. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa sebagian besar produk masih dalam keadaan baik setelah disimpan selama 1 minggu. Meskipun keseluruhan proses pengalengan bisa dikatakan aseptis, namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya kerusakan, baik karena berlalunya masa simpan (kadaluwarsa) ataupun karena kurang sempurnanya proses pengalengan. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan tersebut, yaitu antara lain:
·         Pengkaratan tinplate, terutama pada bahan pangan bersifat asam, karena pelepasan hidrogen.
·         Reaksi kiamia, misalnya reaksi kecoklatan nonezimatis atau pembebasan timah oleh nitrat dan sebagainya.
·         Penggelembungan karena adanya CO2.
·         Operasi autoklaf yang salah terutama setelah pendinginan.
·         Exhausting yang kurang dan pengisian berlebih akan membawa akibat berlebihnya tekanan selama pemanasan.
·         Pertumbuhan mikroba sebagai akibat tidak adanya pemanasan atau pemanasan yang kurang sempurna, pembusukan bahan sebelum diolah, pencemaran sesudah diolah sebagai hasil lipatan kaleng yang cacat atau pendinginan yang kurang.
·         Fluktuasi tekanan atmosfer.
·         Suhu dan waktu pemanasan yang tidak memadai selama sterilisasi dapat mengakibatkan tumbuhnya Clostridium botulinum. Clostridium botulinum merupakan bakteri termofilik (tahan panas) yang dapat hidup dalam kondisi anaerobik (tidak ada oksigen).

PENGARUH PROSES PENGOLAHAN PANAS DALAM PENGELENGAN TERHADAP NILAI GIZI
Pada prinsipnya pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan:
·         untuk pengawetan, pengemasan dan penyimpanan produk pangan (misalnya pengalengan);
·         untuk mengubah menjadi produk yang diinginkan (misalnya pemanggangan); serta
·         untuk mempersiapkan bahan pangan agar siap dihidangkan.
Semua bahan mentah merupakan komoditas yang mudah rusak, sejak dipanen, bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi biokimiawi. Kecepatan kerusakan sangat bervariasi, dapat terjadi secara cepat hingga relatif lambat. Satu faktor utama kerusakan bahan pangan adalah kandungan air aktif secara biologis dalam jaringan. Bahan mentah dengan kandungan air aktif secara biologis yang tinggi dapat mengalami kerusakan dalam beberapa hari saja, misalnya sayur-sayuran dan daging-dagingan. Sementara itu, biji-bijian kering yang hanya mengandung air struktural dapat disimpan hingga satu tahun pada kondisi yang benar. Penanganan, penyimpanan dan pengawetan bahan pangan sering menyebabkan terjadinya perubahan nilai gizinya, yang sebagain besar tidak diinginkan. Zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagaian besar proses pengolahan karena sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi diantaranya. Zat gizi mikro terutama tembaga dan zat besi serta enzim kemungkinan sebagai katalis dalam proses tersebut.
Selain proses pengolahan yang tidak diinginkan karena banyak merusak zat-zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan, proses pengolahan dapat bersifat menguntungkan terhadap beberapa komponen zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut, yaitu perubahan kadar kandungan zat gizi, peningkatan daya cerna dan ketersediaan zat-zat gizi serta penurunan berbagai senyawa antinutrisi yang terkandung di dalamnya. Proses pemanasan bahan pangan dapat meningkatkan ketersediaan zat gizi yang terkandung di dalamnya, misalnya pemanasan kacang-kacangan (kedelai) mentah dapat meningkatkan daya cerna dan ketersediaan protein yang terkandung di dalamnya.
Perubahan zat gizi dalam makanan terjadi pada beberapa tahap selama pemanenan, persiapan, pengolahan, distribusi dan penyimpanan. Pengolahan dengan panas dalam proses pengalengan ini mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi terutama zat – zat yang labil seperti asam askorbat, tetapi teknik dan peralatan pengolahan dengan panas yang modern dapat memperkecil kehilangan ini. Semua perlakuan pemanasan harus di optimalisasi untuk mempertahankan nilai gizi dan mutu produk serta menghancurkan mikroba.
Perubahan lainnya yang mempengaruhi nilai gizi pada produk makanan kaleng adalah akan kehilangan cita rasa segarnya dan satu hal lagi yang cukup mengganggu adalah timbulnya rasa taint kaleng atau rasa seperti besi yang timbul akibat coating kaleng yang tidak sempurna. Bahaya utama dalam makanan kaleng adalah tumbuhnya bakteri Clostridium botulinin yang dapat menyebabkan keracunan botulinin. Tanda – tanda keracunan botulinin antara lain tenggorokan menjadi kaku, mata berkunang-kunang, kejang-kejang yang membawa kematian karena sukar bernafas. Biasanya bakteri ini tumbuh pada kaleng yang tidak sempurna pengolahannya atau kaleng yang bocor sehingga makanan didalam kaleng terkontaminasi udara dari luar.
Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa sangat banyak pengaruh pengolahan panas terhadap komponen zat gizi dalam bahan pangan, mulai dari saat pemanenan, persiapan, pengolahan, distribusi dan penyimpanan.

a.       Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Protein
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya. Secara umum pengolahan bahan pangan berprotein dapat dilakukan secara fiisik, kimia atau biologis. Secara fisik biasanya dilakukan dengan penghancuran atau pemanasan, secara kimia dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam atau belerang dioksida; dan secara biologis dengan hidrolisa enzimatis atau fermentasi. Diantara cara pengolahan tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah proses pengolahan menggunakan pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan pengeringan. Pada pengolahan dan penggunaan panas yang tinggi, protein akan mengalami beberapa perubahan. Perubahan – perubahan ini termasuk rasemisasi (Rasemisasi menyebabkan penurunan daya cerna protein karena kurang mampu dicerna oleh tubuh), hidrolosis, desulfurasi dan deamidasi. Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat ireversibel dan beberapa reaksi dapat menghasilkan senyawa toksik.
b.      Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi “Karbohidrat”
Pemasakan karbohidrat diperlukan untuk mendapatkan daya cerna pati yang tepat, karena karbohidrat merupakan sumber kalori. Pemasakan juga membantu pelunakan dinding sel sayuran dan selanjutnya memfasilitasi daya cerna protein. Bila pati dipanaskan, granula-granula pati membangkak dan pecah dan pati tergalatinisasi. Pati masak lebih mudah dicerna daripada pati mentah.
c.       Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Lemak
Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin intens. Asam lemak esensial terisomerisasi ketika dipanaskan dalam larutan alkali dan sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen. Proses oksidasi lemak dapat menyebabkan inaktivasi fungsi biologisnya dan bahkan dapat bersifat toksik.
d.      Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi Vitamin
Stabilitas vitamin pada pengolahan panas relative bervariasi. Vitamin A akan stabil dalam kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat rusak ketika di panaskan dengan adanya oksigen terutama pada suhu yang tinggi. Vitamin tersebut akan rusak seluruhnya apabila dioksidasi dan dihedrogenasi.













MAKALAH PANGAN DAN KESEHATAN
PENGAWETAN  BAHAN  PANGAN NABATI DALAM KEMASAN KALENG

Di susun oleh :
Kelompok 2
Lia Ariani                 Susilowati
Ratna Aprilia S.      Triana Handayani
Rina Yunitasari       U’un Marfina
Robi’ul Awwal        Wahyu Damai F.
Siti Mukaromah      Wilis Indarwati
Sri Eka Darmawati           Winata Diana Santi
Susi Listia Indah     Purwani Handayani
Sarjito

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
IKIP PGRI SEMARANG
2010 /2011

KESIMPULAN

Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk
Metoda pengalengan secara umum dapat digolongkan menjadi dua, yaitu metoda pengalengan konvensional dan metoda aspetik. Pada metoda pengalengan konvensional bahan pangan berupa padatan atau caiaran yang telah disiapkan dalam kaleng atau botol ditutup rapat dan disterilisasi dalam autoklaf. Sedangkan pada metoda pengalengan  aseptic bahan pangan dan kemasan dikerjakan secara terpisah.
Pada dasarnya, proses pengalengan bahan pangan nabati meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut; sortasi, pencucian, pengupasan, pemotongan, blanching, pengisian, exhausting, penutupan, sterilisasi (retorting), pendinginan dan penyimpanan.
Perubahan zat gizi dalam makanan terjadi pada beberapa tahap selama pemanenan, persiapan, pengolahan, distribusi dan penyimpanan. Pengolahan dengan panas dalam proses pengalengan ini mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi terutama zat – zat yang labil seperti asam askorbat, tetapi teknik dan peralatan pengolahan dengan panas yang modern dapat memperkecil kehilangan ini. Semua perlakuan pemanasan harus di optimalisasi untuk mempertahankan nilai gizi dan mutu produk serta menghancurkan mikroba.













1 komentar: